G
N
I
D
A
O
L

SUCCESS STORY: I DIDN’T CHOOSE THIS SCHOLARSHIP, IT CHOOSES ME

“Segala hal yang yang menurut Allah terbaik bagi diri kita akan datang tepat pada waktunya.

Tidak pernah lebih cepat dan tidak pula terlambat”

Oleh : Winda Putri Diah Resty, S.Psi., M.A

Saya sering mendapatkan komentar dari keluarga atau rekan – rekan seperti “Winda, apa – apa yang didaftar pasti lulus semua” atau sesuatu seperti “Kok mudah banget sih win, lulus program ini – itu?” Sebuah komentar yang menurut saya sangat wajar untuk dilontarkan karena biasanya, orang hanya melihat pada “hasil akhir”, tanpa melihat “proses” nya. Padahal, di balik kata “mudah” tersebut, ada proses panjang yang telah saya lalui. Ada malam-malam yang dihabiskan di depan laptop hanya untuk membaca, mencari dan menelaah informasi, memahami proses, menulis research proposal berulang kali, memperbaiki bahasa Inggris, dan lain-lain—di saat orang lain tengah tertidur dengan lelap. So, here is the untold story behind my success…

Melanjutkan kuliah di luar negeri adalah impian saya sejak lama. Impian ini bermula dari sebuah “Personal Challenge“. Awalnya, saya menantang diri sendiri untuk bisa diterima di salah satu kampus terbaik di Indonesia. Alhamdulillah, tercapai. Kemudian, saya menantang diri bagaimana caranya agar seseorang yang berasal dari provinsi paling barat Indonesia ini juga mampu berkompetisi dalam kerasnya persaingan kerja di belantara ibu kota Jakarta. Alhamdulillah, lagi-lagi tercapai. Sampai akhirnya, saya menetapkan impian yang lebih tinggi lagi tentang “bagaimana saya harus bisa menimba ilmu sebanyak-banyaknya dari salah satu universitas terkemuka di Eropa!” Ya, Eropa. Sesuatu seperti Belanda atau Jerman, tetapi tidak pernah ada Taiwan sejak awal. It is never existed on my list.

Saya pertama kali memutuskan untuk melanjutkan studi S3 dan menjadi pejuang beasiswa sekitar tahun 2019. Bermula saat mengikuti “Pre-Doctoral Training Program” di Erasmus Training Center, Embassy of the Kingdom of The Netherlands, Jakarta. Selain memiliki bekal bagaimana idealnya menjadi seorang calon PhD Student dan sedikit wawasan tentang negara tujuan studi, saat itu saya juga berhasil mengantongi hasil tes IELTS yang memadai hanya dengan satu kali tes. Bagi beberapa orang, ini mungkin sedikit “challenging”.  Alhamdulillah, saya sangat berterima kasih kepada Program Muhammadiyah Scholarship Preparation Program (MSPP) yang telah memberikan saya kesempatan emas untuk belajar bahasa Inggris secara intensif selama 3 bulan di Kampung Inggris Pare, Kediri, di balik keberhasilan ini. Tadinya, saya mengira kondisi ini sudah cukup ideal untuk diterima pada seleksi beasiswa BPPLN yang ditawarkan oleh Kemendikbudristek. Namun, ternyata saya gagal di tahap wawancara. Ini adalah kegagalan saya pertama, dari sederet kegagalan berikutnya yang ternyata…masih panjang!

Sejak saat itu, saya telah mengirimkan lebih dari 60 email kepada calon pembimbing potensial (potential supervisor). Beberapa email tersebut dibalas, namun kebanyakannya di-ghosting, meminjam istilah anak zaman sekarang). Ada juga calon supervisor/profesor yang secara terang-terangan menolak, dengan alasan seperti: “sedang tidak menerima mahasiswa PhD,” “akan segera pensiun,” atau “tema riset yang diajukan tidak sesuai dengan bidang keahlian professor tersebut.” Hanya sedikit balasan email  yang memberikan angin segar seperti undangan untuk bertemu via Zoom untuk mendiskusikan tema riset lebih lanjut atau sekadar saling mengenal antara calon PhD student dengan calon supervisor-nya. Mayoritas aplikasi beasiswa saya tujukan kepada universitas-universitas besar di Eropa. Dari hasil kegigihan ini, saya berhasil diterima di tiga universitas di Eropa dengan mengantongi tiga Letter of Acceptance (LoA) sebagai tiket masuknya, yaitu dari Groningen University (Belanda), Phillips Marburg University (Jerman), dan A.U.G.E Hochschule Niederrhein (Jerman).

Memiliki skor IELTS yang cukup serta tiga LoA dari kampus tujuan ternyata tidak otomatis memudahkan saya untuk memperoleh beasiswa. Sejak 2019 sampai dengan 2023, saya telah mendaftar di lebih dari 10 peluang beasiswa seperti BPPLN, AAS, DAAD, BPSDM, BudiLN, BPI, Maanaki, LPDP, MIS, GSBS, IASP, hingga yang terakhir GEMS dari Monash University Malaysia Campus. Dari yang awalnya hanya menargetkan kampus dan beasiswa di Eropa, akhirnya saya mulai mengincar seluruh beasiswa yang ada di dunia secara ugal – ugalan. Dan dengan bangga saya sampaikan bahwa saya gagal memperoleh beasiswa dari semua proses seleksi beasiswa tersebut. Rata – rata gagal di tahap wawancara. Terus, kalau gagal mengapa bangga? Karena setiap proses dan kegagalan yang saya alami adalah proses dan pengalaman berharga yang berhasil membentuk diri saya menjadi lebih baik dalam berbagai aspek. Mulai dari persiapan berkas, cara menghadapi wawancara dengan calon profesor, proposal riset yang semakin sempurna, hingga pengelolaan emosi yang lebih baik ketika harus menghadapi kegagalan berulang kali. Semua kegagalan itulah yang membentuk diri saya hari ini. Pernah dalam satu sesi wawancara beasiswa, interviewer bertanya, “Kalau kali ini ibu gagal lagi bagaimana?” dan saya jawab, “Tidak apa-apa Pak, paling nanti kita ketemu lagi di sesi seperti ini, hehehe.”

Singkat cerita, mengapa akhirnya Taiwan? Saya tidak memilih beasiswa ini; beasiswa ini yang memilih saya. Atau, jika boleh saya highlight, beasiswa ini adalah pilihan Allah SWT untuk saya, sesuatu yang Allah tetapkan sebagai “yang terbaik di antara yang terbaik” bagi diri saya saat ini. Tawaran beasiswa ini datang ketika saya sudah pasrah dan tidak lagi ingin mengejar beasiswa. Beasiswa ini hadir ketika saya sudah nyaman dengan keseharian saya, sampai-sampai tidak ingin bersusah payah melanjutkan studi. Beasiswa ini datang tiba-tiba begitu saja, bukan karena saya mencari, tetapi karena diinformasikan oleh tim dari Majelis Diktilitbang Muhammadiyah melalui program alumni MSPP. Prosesnya juga sangat dimudahkan oleh Allah. Saya dipertemukan dengan banyak orang yang sangat berjasa dalam membantu kelancaran proses pendaftaran hingga proses seleksinya. Tidak bisa dipungkiri bahwa cobaan dalam prosesnya pasti ada, misalnya saat qadarullah saya mengalami musibah kecelakaan dan harus bedrest selama hampir 2,5 bulan tepat sebelum saya sempat mengirimkan dokumen persyaratan beasiswa via pos yang deadline nya adalah di hari musibah itu. Tetapi janji Allah, “Fa Inna ma’al Usri Yusra,” benar Allah tunaikan. Dokumen beasiswa itu atas izin Allah SWT tetap sampai dan diterima pihak pemberi beasiswa MoE TETO Taiwan tepat pada waktunya.

Kendala teknis lain yang saya alami adalah aksesibilitas website yang sebagian besar berbahasa Mandarin. Meskipun ada pilihan bahasa Inggris, beberapa informasi masih tersaji dalam bahasa Mandarin, sehingga cukup menyulitkan dalam memahami informasi yang diperlukan. Persyaratan dokumen yang banyak dan beberapa membutuhkan legalitas dari otoritas setempat juga menjadi tantangan tersendiri.

Selain itu, persaingan untuk mendapatkan beasiswa ini sangat ketat karena Taiwan mulai dianggap sebagai tujuan studi yang populer di kawasan Asia. Di universitas tujuan saya, penerimaan untuk mahasiswa PhD tahun ini hanya dibuka untuk 40 orang untuk seluruh fakultas di Asia University, dan khusus untuk PhD di bidang Psikologi hanya tersedia dua posisi. Alhamdulillah, salah satunya berhasil saya dapatkan.

Sebagai penutup, saya berharap siapapun yang membaca tulisan ini (terutama teman – teman mahasiswa dan rekan – rekan akademisi) dapat terinspirasi dan termotivasi untuk terus berusaha. Karena melalui pengalaman di atas, saya hendak menyampaikan bahwa kegagalan adalah bagian dari proses menuju kesuksesan. Tidak ada yang instan di dunia ini. Semuanya melalui sebuah proses. Bahkan kopi instan sekalipun dibuat melalui serangkaian proses rumit sampai akhirnya bisa disebut kopi instan. Maka, “teruslah berusaha sampai kegagalan itu tidak lagi terasa sebagai sebuah kegagalan” dan bahwa “segala hal yang yang menurut Allah terbaik bagi diri kita akan datang tepat pada waktunya. Tidak pernah lebih cepat dan tidak pula terlambat.